Mungkin sebelum saya cerita tentang pengalaman
hebat dan tak terlupakan ini,terlebih dahulu saya mau bagiin foto beberapa jam
sebelum tragedi ini terjadi.
Gatau gimana bersyukurnya saya saat ini, kejadian
itu terjadi seminggu lalu, tepatnya 18 Oktober 2015. saat itu saya dan kedua
teman saya, Irvan dan kak Vita hendak turun dari pendakian kami di puncak
Gunung Lawu, sekitar 5 jam sudah kami berjalan dari puncak ke bawah, tujuan
kami adalah pos 2 dimana beberapa teman lainnya, yaitu mbak Susi, mas Sholeh
(Pacar mbak Susi) dan bang Ragil (temen mas Soleh) menunggu di tenda. Jadi
sebelum sampai di pos 2, dari puncak kami harus melewati pos 4, pos 3, pos
bayangan, lalu pos 2. Saat itu sekitar jam setengah 8 malam, saya sih gak
ngeliat jam tapi seingat saya sebelumnya saya mendengar suara adzan isya, saya
melihat beberapa pendaki yang samar jumlahnya karena mereka berjalan di
gelapnya hutan mengarah keatas, belum kami berpapasan dengan mereka dari jauh
salah satu pendaki tersebut bilang, "mas, mbak naik aja lagi, gak bisa
turun, pos 2 kebakaran.!", sontak saya terkejut dan lalu khawatir dengan
beberapa teman kami yang ada di pos 2, lalu Irvan bertanya, "terus
orang-orang yang ngecamp disana gimana mas?", dengan suara yang cukup
keras masnya bilang, "wah kita gatau kelanjutan pastinya mas. uda sekarang
kta naik lagi aja dulu ngumpul di pos bayangan," saya merasa panik dan
entah kenapa saat itu langsun ada sinya dan ada 3 sms masuk, dari ayah, ibu dan
adik saya, sms mereka semuanya sama, menanyakan keberadaan saya. sontak saya
panik, ketika dalam keadaan tersebut dan keluarga saya juga bertanya tentang
keberadaan saya. saya bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi??? tidak lama
saya membaca sms, telfon dari ayah saya masuk, saya cuma mendengar suara Ayah
yang lagi-lagi bertanya keberadaan saya, namun suara Ayah semakin lama semakin menghilang,
karena saya terus berjalan menuju pos bayangan/ saya cuma bisa menjawab telfon
dari Ayah saya, "Yah, ini fanni, kenapa yah, fanni gak bisa turun gunung,
soalnya dibawah kebakaran." dan saya gatau apakaha Ayah saya saat itu bisa
mendengar perkataan saay tersebut karena kemudian telfon mati karena gak ada
sinyal.
Saya panik, dan semakin sering membacakan surat
alfatihah dalam hati saya, saat itu fikiran saya uda ntah kemana-mana, sempat
saya berfikir apakah saya akan tewas disana, dalam ketakutan saya terus
berharap kepada-Nya, ya Allah selamatkan saya, selamatkan kami, lindungilah
kami.
Sesampai di pos bayangan, ada seorang pendaki
yang menyuruh untuk duduk, dan menenangkan diri masing-masing. Lalu dengan
pelan ia menjelaskan tentang keadaan tersebut, pendengaran saya samar saat itu,
tidak terlalu focus dengan apa yang mereka bicarakan karena saya focus mengutak
atik hp saya agar mendapat sinyal dan bias menghubungi keluarga saya, namun
karena sinyal tidak menjangkau tempat kami, sayapun urung menghubungi keluarga
saya. Perasaan saya saat itu merasa bahwa keluarga saya sepertinya sudah tau
apa yang terjadi di Gunung Lawu dan sudah pasti mereka sangat mengkhawatirkan
saya. Kepanikan saya sempat semakin terlihat ketika ada seorang pendaki yang
memberikan saran untuk kita segera pergi ke pos 3, karena di sana lebih aman
soalnya rumput-rumput disana sudah pernah terbakar jadi sedikit kemungkinan
untuk terbakar lagi. Namun pendaki lain mencoba untuk menjelaskan kembali
kepada pendaki tersebut bahwa kita harus menunggu di sini, karena tadi
instruksi dari bawah menyuruh kita menunggu di pos bayangan. Sontak perdebatan
tersebut membuat saya panik, Belum lagi kalaupun harus terbagi kedalam 2
kelompok, yang satu pergi ke pos 3 dan kelompok lainnya tetap menuggu di pos
bayangan, saya gak tahu harus milih kelompok yang mana, soalnya kalaulah harus
naik ke pos 3 lagi saya merasa sudah tidak punya tenaga yang cukup, karena
medan dan tempatnya cukup jauh, lagian saat itu air minum sudah mau habis, tapi
kalau saya tetap di pos bayangan gimana kalau api terus menjalar ketempat kami,
karena dari tempat kami berkumpul itu terlihat pembedaran cahaya dari api.
Pendaki yang tadi memberi masukan untuk ke pos 3 terus memberikan saran untuk 3
semua namun pendaki lainnya tidak sependapat dengan orang tersebut, saya sih
merasa wajarlah masnya tersebut, berulang kali berusaha untuk memberikan
masukan agar menyelamatkan kita karena saat itu dia mendaki dengan anak
laki-lakinya berumur sekitar 8-10 tahun. umur yang cukup muda untuk medaki
gunung sekelas lawu.
Oke, back to topik, saya terus mencoba
menghubungi keluarga saya, tapi gaga, hawa yang cukup dingin membuat imaginasi
saya saat itu bermain, saya berharap Ayah saya datang dengan membawa
helikopter, karena saat itu saya teringat saat kejadian tsunami 2006 silam ayah
pergi dengan saudara saya naik helikopter untuk mencari saudara saya yang
hilang. Belum lagi saya teringat dengan salah satu film yang berjudul …… dimana
seorang anak perempuan berlibur mengunjungi gunung ……. bersama ibunya
karena saat itu Ayahnya harus bertemu dengan mitra kerjanya, ada adegan dimana
Ayahnya tidak bisa menghubungi anak dan istrinya tersebut yang sedang terjebak
dalam tragedy gunung meletus, namun dengan insting seorang Ayah ia menemukan
keluarganya tersebut dengan menggunakan helicopter, gatau kenapa saya berharap,
Ayah akan datang dengan membawa helicopter lalu menyelamatkan kami semua, lalu
logika saya berperang dengan imajinasi saya, berapa lama Ayah akan sampai di
tempat itu, belum-belum kami telah terpanggang sampai Ayah datang. Saya masih
dalam keadaan takut, saat itu saya merasa tidak siap untuk berhadapan dengan
hal terburuk sekalipun, saya mencoba mendekati kak Vita dan memeluknya, saya
mensuges diri saya sendiri bahwa semuanya akan aman dan baik-baik saja.
Kami semua mencoba untuk menghubungi teman-teman
kami yang sudah ada dibawah dan juga orang-orang yang ada bascam, namun gagal
karena gak ada sinyal. Singkat cerita ada seorang pendaki yang pergi mencari
sinyal dan akhirnya ia dapat menghubungi orang-orang yang ada di bascam, lalu
kami mendapat instruksi untuk turun dengan berhati-hati dan terus waspada tentu
saja menggunakan masker agar tidak terhirup asap. Saya hanya pasrah saat itu
dan mengikuti instruksi dari mereka, perjalanan dipimpin oleh seorang pendaki
laki-laki yang sepertinya dia sudah biasa mendaki. Saya cuma bisa berdoa dan
terus berdoa dalam setiap langkah saya, harapan saya hanya ingin segera
menghubungi keluarga saya dan memberitakan bahwa saya dalam keadaan selamat dan
sehat walafiat.
Saya gak begitu ingat berapa lama perjalanan kami
sampai di pos 2, kemungkinan sih sekitar 1-2 jam, saya juga gak begitu ingat
karena saat itu saya cuma berfikir harus langsung sampai di bascam dan langsung
makan, soalnya saya laper banget, dan angan saya dari puncak kebawah itu saya
membayang begitu sampai cam yang ada di pos 2 saya langsung makan dan bisa
istrirahat sejenak lalu langsung turun dan balik ke Jogja, namun ternyata saat
saya sampai di pos 2 bukanlahh makanan yang saya dapatkan, saya melihat pos 2
sudah sepi tanpa seorang pun berada di sana, dan mata saya dengan jelas melihat
api yang membawa di atas kami, saya gatau itu ada dibagian mata angin mana dari
pos 2 yang jelas kalau kita mengarah kebawah api ada di kiri jalan. kami beristirahat
sejenak di pos 2, saya duduk mengarah di sumber kebakarab sambil meluruskan
kaki, dan minta minum sama Irvan, soalnya yang bawa tas isi kebutuhan logistik
kami bertiga itu is Irvan. Hati saya rasanya terus cemas dan ingin berkata,
"ayo dong buruan kita turun." tapi itu cuma bisa saya ucapkan dalam
hati, karena saya masih melihat teman-teman yang lain beristirahat sejenak,
saya gak bisa memaksakan kehendak saya karena saya disana tidak sendirian. Tapi
sebenarnya saya juga capek tapi capeknya itu ketutup sama rasa takut, dan
keinginan saya untuk langsung sampai di bascam. sekitar 10 menit berhenti ketua
regu melanjutkan memimpin barisan, saat itu hp saya lowbet saya gapunya alat
penerangan, soalnya dari kami bertiga, saya, irvan dan kak vita kita cuma punya
2 senter, soalnya senternya kak vita ditinggal di cam, saya jalan dengan cahaya
kecil dari kak vita yang menerangi jalan saya dari belakang sambil memegang
tangan kak Vita dari belakang, sampai akhirnya pendaki lainnya mungkin kasihan
melihat saya dan memberikan hpnya sebagai penerangan saya, saya bener-bener
berterima kasih sama masnya yang uda minjemin hpnya kesaya, "makasih
banyak loh ya mas."
Singkat cerita sampailah kami di cam 1, kamipun
beristirahat kembali, hati saya semakin gak tenang saat melihat ternyata api
telah menjalar dengan cepat dan mengarah ke kami, karena saat itu angin
berhembus dengan kencang. saya semakin takut, rasanya saya ingin sekali
langsung turun kebawah, tapi tidak mungkin saya meninggalkan teman-teman
pendaki lainnya, saya juga gak ngebayain kalau saya jalan sendirian dan tak tau
arah jalan pulang. kami semakin tidak beranjak saat ada seorang pendaki cowok
yang tidak sanggup lagi berjalan, dia memutuskan untuk tinggal beristirahat
disana dan berharap kami meninggalnya, namun mungkin gak semudah itu dong ya,
kita berada dalam 1 posisi yang mengkhawatirkan bersama, kita berusaha untuk
selamat bersama. ketua tim yang berada di paling depan merasa sangat berat
kalau harus meninggalkan temannya itu, ya dong saya juga kalau diposisi mereka
gak akan mau meninggalkan teman saya juga. dan akhirnya dengan memotivasi
pendaki tersebut akhirnya kami berjalan lagi dengan formasi full, semua pendaki
yang terjebak ikut turun, dan api lagi-lagi terlihat semakin mendekat. Saya
membagi fikiran saya untuk fokus ke medan yang ada dan sesekali melihat api
yang terus berkobar.
Saya merasa perjalanan menuju bascam sangat jauh,
saya merasa tenaga saya sudah terkuras habis. Karena merasa perjalanan itu
sangatlah jauh dan tidak sampai-sampai beberapa kali saya mengingat bagaimana
perjalanan saya pada malam hari saat kami naik ke atas, saya mengingat beberapa
tanda saat saya naik dan berkata pada diri sendiri, "oh ini yang kemarin,
uda deket lagi kok." dan itu terus saya lakukan, tapi perjalanan emang
terasa lamaaaa banget. Karena tenaga yang uda terkuras banyak, beberapa kali
saya terjatuh karena medan yang turun tersebut. Perasaan untuk cepat-cepat
sampai di basecamp semakin menggebu tatkala hasrat ingin pipis terus melanda,
saya uda kepikiran buat pipis di celana, karena uda gak tahan lagi. Bayangin aja
saya nahan sesak pipis itu dari saya di puncak, gimana rasa sakit yang saya
rasakan ? Tapi seperti yang uda saya katakan, semua rasa sakit seolah musnah
ketika rasa takut dan cepat-cepat ini turun lebih mendominasi, tapi karena diakhir
perjalanan terasa sangat jauh, menit-menit menuju basecamp itu adalah
menit-menit yang saya rasa jarum jam berputar dengan lambat seperti kehabisan
baterai.
Dengan perasaan yang campur aduk, akhirnya saya
sampai di anak tangga terakhir, tanpa berfikir lama saya langsung menuju kamar
mandi, terdengar suara samar yang bertanya, “fanni maba? Fanni mana? Saya gak
begitu memperdulikan suara tersebut, saya Cuma mau mengeluarkan yang seharus
sudah keluar dari tadi.
to be continue dulu ya..............
0 komentar:
Posting Komentar